Perkara Yang Mewajibkan Membayar Kafarat | Safinatun Naja 73 : Fasal 61

Perkara yang mewajibkan membayar kafarat adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

يجب مع القضاء للصوم والكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه فى رمضان يوما كاملا بجماع تام أثم به للصوم

Sumber Matan Safinatun naja

Perkara Yang Mewajibkan Membayar Kafarat

Wajib mengqodho puasa, membayar kafarat dan teguran terhadap orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadhan satu hari penuh oleh sebab berjima, lagi berdosa bagi orang yang berjima terhadap puasa.

Fasal ini menjelaskan tentang perkara-perkara yang mewajibkan membayar kafarat dan hal-hal yang berkaitan dengan kafarat.

Selain diwajibkan mengqodho puasa, diwajibkan juga membayar kafarat besar dan mendapat takzir atas orang (1) yang merusak puasanya satu hari penuh dari hari-hari bulan Ramadhan (2) dengan jimak yang sempurna dan (3) yang berdosa karena puasa saja.

Oleh karena itu, tidak diwajibkan membayar kafarat atas orang yang merusak puasanya dengan selain jimak, seperti; makan atau onani. Begitu juga, tidak diwajibkan membayar kafarat atas orang yang merusak puasanya dengan jimak atau selainnya, baik selainnya itu mendahului jimak atau bersamaan dengan jimak.

Dengan demikian, kewajiban membayar kafarat menjadi gugur sebab mendahulukan selainnya (manik) daripada jimak (muqtadi) yang mewajibkan membayar kafarat.

Tidak diwajibkan juga membayar kafarat atas orang yang merusak puasanya dengan jimak di selain puasa Ramadhan, seperti; puasa nadzar dan puasa qodho.

Tidak diwajibkan juga membayar kafarat atas musafir yang melakukan perjalanan jauh yang diperbolehkan baginya berbuka yang mana ia merusak puasanya dengan berzina karena dosa jimaknya bukan karena puasa saja, melainkan karena puasa itu sendiri dan zina itu sendiri, dengan catatan apabila ia merusak puasanya itu tidak disertai dengan niat tarakhus (memperoleh rukhsoh atau keringanan) karena merusak (membatalkan) puasa tidak diperbolehkan kecuali jika disertai dengan niatan tarakhus. Apabila musafir pezina berniat tarakhus maka dosa jimaknya adalah karena perbuatan zina saja, bukan karena puasa, sebab membatalkan puasa bagi dirinya yang melakukan perjalanan jauh itu adalah diperbolehkan. Masing-masing musafir yang merusak puasanya dengan zina, baik ia berniat tarakhus atau tidak, tidak berkewajiban membayar kafarat.

Berbeda dengan orang yang masuk waktu pagi dalam keadaan masih mukim, kemudian ia melakukan perjalanan jauh, kemudian ia berjimak, maka ia berkewajiban membayar kafarat.

Pernyataan yang sempurna, Ghozali berkata bahwa pernyataan tersebut untuk mengecualikan pihak perempuan yang dijimak karena ia tidak berkewajiban membayar kafarat sebab ia hanya membatalkan puasa dengan masuknya sebagian khasyafah ke dalam vaginanya. Demikian ini dikatakan oleh al-Hisni juga.

Suwaifi berkata bahwa lafadz آثم (yang berdosa) adalah dengan membaca mad pada huruf hamzah dengan sighot isim faa’il.”

Kesimpulannya adalah bahwa syarat-syarat kewajiban membayar kafarat ada 11 (sebelas), yaitu;

  1. Kewajiban kafarat hanya dibebankan atas watik (pihak yang menjimak), bukan mautuk (pihak yang dijimak). Oleh karena itu, membayar kafarat tidak diwajibkan atas mautuk.
  2. Jimak yang dilakukan memang membatalkan atau merusak puasa. Oleh karena itu, kewajiban membayar kafarat hanya berlaku ketika jimak yang dilakukan memang dapat merusak puasa, sekiranya orang yang menjimak adalah orang yang sengaja, yang ingat kalau dirinya sedang berpuasa, yang tidak dipaksa, yang tahu akan keharamannya meskipun ia tidak tahu tentang kewajiban membayar kafarat dan yang bodoh dengan bodoh yang tidak diudzurkan.
  3. Jimak yang dilakukan dapat merusak puasa. Oleh karena itu, tidak diwajibkan membayar kafarat sebab jimak yang hanya merusak sholat dan i’tikaf, bukan puasa.
  4. Jimak yang dilakukan dapat merusak puasa orang yang menjimak itu sendiri. Berbeda dengan apabila jimak tersebut merusak puasa orang lain meskipun di bulan Ramadhan, seperti; musafir atau yang lainnya (spt; orang sakit) menjimak istrinya, maka puasa istrinya menjadi rusak.
  5. Jimak terjadi di bulan Ramadhan meskipun orang yang menjimak adalah satu-satunya orang yang melihat atau rukyah hilal, atau ia diberi tahu oleh orang yang terpercaya tentang rukyah hilal, atau ia adalah orang yang meyakini tentang kebenaran berita dari orang lain yang melihat hilal.
  6. Puasa menjadi rusak dengan jimak meskipun liwat atau homo sexual, atau dengan memperkosa binatang atau mayit, meskipun tidak sampai mengeluarkan sperma, seperti yang dikatakan oleh Ziyadi.
  7. Berdosa sebab jimaknya. Dikecualikan adalah jimak yang dilakukan oleh anak kecil, musafir, orang sakit, dan orang puasa yang menjimak dengan niatan tarakhus karena jimak yang mereka lakukan ini tidak berdosa.
  8. Dosa jimak hanya karena puasa saja.
  9. Jimak merusak puasa sehari yang diibaratkan dengan kondisi yang mana orang yang berjimak tetap sebagai ahli puasa pada hari itu. Dikecualikan apabila ia berjimak tanpa ada udzur pada hari tertentu di bulan Ramadhan, kemudian ia gila atau mati pada hari itu juga (berarti ia bukan lagi ahli puasa), maka ia tidak berkewajiban membayar kafarat karena jimak yang dilakukan belum merusak puasa utuh pada hari tersebut.
  10. Tidak ada unsur syubhat (keragu-raguan). Dikecualikan apabila shoim menyangka kalau waktu berjimak masih malam, atau masuk malam, atau ragu salah satu dari keduanya, ternyata waktu jimak telah atau masih siang, atau apabila ia makan karena lupa dan menyangka kalau makannya tersebut telah membatalkan puasa, kemudian ia menjimak istrinya dengan sengaja, maka dalam dua kasus ini, ia tidak diwajibkan membayar kafarat.
  11. Jimak terjadi secara yakin di bulan Ramadhan. Dikecualikan apabila keadaan masuk tidaknya bulan Ramadhan belum jelas, kemudian seseorang berpuasa dengan cara berijtihad, lalu ia menjimak, dan ternyata keadaan masuk tidaknya bulan Ramadhan tetap saja belum jelas, maka tidak ada kewajiban atasnya membayar kafarat.

Kafarat yang harus dibayar oleh shoim yang merusak puasanya dengan jimak yang telah memenuhi syarat-syarat di atas adalah;

  1. Memerdekakan budak perempuan tanpa iwadh (tukar menukar), yang mukminah, dan yang selamat dari cacat yang memperburuk untuk bekerja. Apabila ia tidak mampu, maka;
  2. Ia wajib berpuasa 2 bulan secara terus menerus. Sifat terus menerus ini dapat terputus sebab membatalkan puasa meskipun karena udzur kecuali karena semisal haid. Apabila tidak mampu berpuasa 2 bulan secara terus menerus, maka;
  3. Ia wajib memberi makan kepada 60 orang miskin yang masing-masing dari mereka diberi 1 mud makanan pokok yang mencukupi kriterianya dalam zakat fitrah.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami