3 Rukun Puasa | Safinatun Naja 72 : Fasal 60

Rukun puasa adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

اركانه ثلاثة أشياء: نية ليلا لكل يوم فى الفرض وترك مفطر ذاكرا مختارا غير جاهل معذور وصائم

Sumber Matan Safinatun naja

Rukun-rukun Puasa

Rukun puasa ada 3 (Tiga) :

1. Niat di setiap malam dari malam-malam Ramadhan dalam melakukan puasa fardhu.

2. Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa selain lupa

3. Orang yang berpuasa

Fasal ini menjelaskan tentang rukun-rukun puasa.

Rukun-rukun puasa, baik puasa fardhu atau sunah, ada 3 (tiga). Ziyadi berkata, “3 rukun puasa ini adalah yang masyhur. Dalam kitab al-Anwar, rukun-rukun puasa dijadikan 4 (empat) yang mana rukun keempat adalah waktu yang dipuasai memang menerima untuk dipuasai.”

1. Niat

Rukun puasa yang pertama adalah niat di setiap malam dari malam-malam Ramadhan dalam melakukan puasa fardhu.

Tempat niat adalah hati. Dalam berniat harus menghadirkan hakikat puasa yang mana hakikatnya adalah menahan diri dari segala perkara yang membatalkannya di seluruh siang hari, disertai menghadirkan puasa sebagai puasa, misal, Ramadhan, kemudian menyengaja menjatuhkan apa yang dihadirkan ini. Niat tidak cukup hanya dengan lisan tanpa hati, sebagaimana tidak disyaratkan melafadzkan niat, tetapi disunahkan melafadzkannya agar lisan dapat membantu hati.

Dengan adanya tempat niat adalah hati, maka diketahui bahwa apabila seseorang berniat puasa dengan hati di tengah-tengah sholat maka niat tersebut sah. Ziyadi menambahkan bahwa apabila seseorang berniat puasa di malam pertama dari bulan Ramadhan dengan niatan berpuasa seluruh hari-hari Ramadhan maka belum mencukupi, kecuali niat secara demikian itu hanya mencukupi hari pertamanya, tetapi disunahkan baginya untuk berniat puasa demikian itu, artinya berniat melakukan puasa di seluruh hari-hari Ramadhan, agar sewaktu-waktu jika ada satu hari yang lupa diniati puasa, maka hari tersebut terhitung sebagai puasa yang sah, seperti pendapat Imam Malik, sebagaimana disunahkan bagi seseorang untuk berniat puasa di awal hari yang pada malamnya lupa berniat agar hari tersebut terhitung sah puasanya, seperti pendapat Abu Hanifah. Namun, kesunahan yang berdasarkan pendapat Abu Hanifah ini adalah jika orang yang berpuasa bertaklid kepadanya, jika tidak, maka ia telah menetapi ibadah rusak/fasid menurut keyakinannya dan demikian ini adalah haram.

Apabila seseorang ragu apakah niatnya jatuh sebelum fajar atau sesudahnya maka puasanya tidak sah karena asalnya adalah tidak terjadinya niat di malam hari itu, sebab asal dalam setiap kejadian baru diperkirakan pada waktu yang paling dekat. Berbeda dengan masalah apabila seseorang ragu apakah fajar shodiq telah terbit atau belum maka puasanya sah karena hanya ragu dalam niat, bukan ragu tentang jatuhnya niat.

Kewajiban berniat yang harus dilakukan di malam hari hanya dalam puasa fardhu. Berbeda dengan puasa sunah, maka cukup berniat puasa di siang hari sebelum tergelincirnya matahari dengan syarat belum terjadi atau melakukan sesuatu yang membatalkan puasa sebelum berniat, seperti; makan, jimak, kufur, haid, nifas, dan gila. Apabila sebelum berniat telah terjadi atau melakukan sesuatu yang membatalkan puasa, maka puasa sunahnya tidak sah.

Di dalam Syarah al-Minhaj disebutkan, “Suatu hari, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama mendatangi Aisyah. Beliau bertanya, ‘Apakah kamu memiliki makanan?’ Aisyah menjawab, ‘Tidak’. Beliau melanjutkan, ‘Kalau begitu, aku berpuasa.’” Aisyah meriwayatkan, “Pada hari yang lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama mendatangiku. Beliau bertanya, ‘Apakah kamu memiliki makanan?’ Aku menjawab, ‘Ya. Aku punya makanan.’ Beliau melanjutkan, ‘Kalau begitu aku tidak berpuasa meskipun aku sebenarnya telah berpuasa pada hari ini.’” Hadis ini diriwayatkan oleh Daruqutni dan Baihaqi.

Mengecualikan dengan pernyataan sesuatu yang dapat membatalkan puasa adalah sesuatu yang tidak membatalkannya. Romli berkata, “Apabila seseorang masuk waktu pagi dan ia belum berniat puasa sunah, kemudian ia berkumur dan tidak mubalaghoh (berlebihan) dalam berkumurnya, lalu air kumur terlanjur masuk ke perutnya, lalu ia berniat puasa sunah, maka puasanya sah. Sama halnya dengan sesuatu yang tidak membatalkan puasa, seperti dipaksa untuk makan dan minum (sehingga apabila seseorang masuk waktu pagi dan ia belum berniat puasa sunah, kemudian ia dipaksa untuk makan atau minum, lalu ia berniat puasa sunah, maka puasanya sah). Nawawi berkata, “Ini merupakan masalah yang sangat bagus. Aku mencari masalah tersebut selama beberapa tahun dan al-hamdulillah, aku berhasil menemukannya.”

Sama dengan contoh kasus di atas adalah apabila seseorang mubalaghoh (berlebihan) dalam menghilangkan najis yang ada di mulutnya atau hidungnya, lalu air terlanjur masuk, maka jika ia berniat puasa sunah setelah itu, maka puasanya sah.

Pernyataan (kewajiban mentabyit niat di malam hari dalam) puasa fardhu, mencakup puasa nadzar, puasa qodho, puasa kafarot, atau yang berniat adalah anak kecil (shobi), atau puasa yang diperintahkan oleh imam (pemerintah) dalam sholat istisqo.

Menurut madzhab Syafii, tidak ada puasa sunah yang disyaratkan di dalamnya mentabyit niat di malam hari kecuali puasa yang dilakukan oleh anak kecil. Oleh karena ini, disebutkan, “Kita (para Syafiiah) memiliki puasa sunah yang disyaratkan di dalamnya mentabyit niat puasa di malam hari.”

Pernyataan di malam hari, maksudnya; waktu antara terbenamnya matahari dan terbitnya fajar. Dalil kewajiban menjatuhkan niat pada malam hari, artinya, kewajiban tabyit, adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Barang siapa tidak mentabyit puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Daruqutni. Maksudnya, barang siapa tidak mentabyit niat puasa sebelum fajar maka puasa baginya tidak-lah sah. Yang dimaksud dengan mentabyit niat puasa adalah menjatuhkan niat tersebut di sebagian waktu malam dari antara terbenamnya matahari sampai terbit fajar. Begitu juga, kewajiban tabyit didasari atas sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Barang siapa tidak meng’azm atau menyengaja puasa, kemudian ia meniatkannya sebelum fajar maka puasa baginya tidak-lah sah.”

Minimal niat dalam puasa Ramadhan adalah;

نـَوَيْتُ الصَّوْمَ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ

Saya berniat puasa besok dari bulan Ramadhan.

Dari niat tersebut, diketahui bahwa wajib menyertakan perkataan dari bulan Ramadhan karena mentakyin merupakan syarat dalam niat puasa fardhu dan hanya dapat dilakukan dengan menyertakan dari bulan Ramadhan dalam niat, tidak hanya dengan kata besok. Apabila seseorang menyertakan dari bulan Ramadhan dan besok maka itu lebih memungkinkan. Jadi, besok adalah contoh tabyit yang tidak diwajibkan menyertakannya dan takyin tidak dapat dihasilkan dengannya. Sedangkan dari bulan Ramadhan adalah contoh takyin.

Tidak disyaratkan menjelaskan sifat kefardhuan (fardhiah) dalam niat. Begitu juga tidak disyaratkan menjelaskan adak, idhofah pada Allah ta’ala, dan mentakyin tahun. Apabila seseorang mentakyin tahun, dan ia keliru, maka jika ia adalah orang yang sengaja dan tahu, maka puasanya tidak sah karena talaub (bercanda)-nya. Sebaliknya, apabila ia adalah orang yang lupa atau bodoh maka sah puasanya.

Niat yang paling lengkap adalah sekiranya seseorang berkata;

نـَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فـَرْضِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَة

Saya berniat puasa besok karena melaksanakan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini.

yaitu, dengan mengidhofahkan lafadz رمضان pada isim isyarot agar pengidhofahan tersebut mentakyin (menentukan) bahwa Ramadhan yang dimaksud adalah Ramadhan tahun ini. Setelah niat tersebut, seseorang disunahkan untuk mengucapkan;

إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا للهِ تَعَالى

Karena meyakini kewajiban puasa dan mengharapkan pahala karena Allah ta’ala.

Apabila seseorang sahur untuk berpuasa, atau minum agar tidak kehausan di siang hari, atau enggan makan, minum, atau jimak karena takut terbit fajar, maka sikapnya demikian ini sudah termasuk niat jika ia menyiratkan puasa di dalam hatinya dengan sifat-sifat puasa menurut syariat karena masing-masing sikap tersebut mencakup kesengajaan puasa.

2. Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa

Maksudnya, rukun puasa yang kedua adalah meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa, seperti;

  1. Masuknya benda ke lubang yang terbuka dari perut, contoh; mengkonsumsi makanan, meskipun sedikit, seperti; satu biji dan setetes air,
  2. Memasukkan sesuatu ke dalam mulut dan lubang lain, seperti; memasukkan kayu ke dalam telinga atau luka,
  3. Sengaja muntah, karena sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, “Barang siapa tidak tahan muntah, (artinya memang harus muntah), padahal ia adalah orang yang berpuasa, maka tidak ada kewajiban atasnya untuk mengqodho. Dan barang siapa sengaja muntah maka wajib atasnya mengqodho.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hiban dan lainnya.
  4. Masuknya seluruh khasyafah atau kira-kiranya bagi orang yang tidak memilikinya ke dalam farji. Oleh karena itu, puasa tidak batal sebab memasukkan hanya sebagian khasyafah dengan dinisbatkan pada pihak watik (yang menjimak). Adapun pihak yang mautuk (dijimak) maka puasanya batal sebab kemasukan sebagian khasyafah tersebut karena batalnya dilihat dari segi disebabkan oleh masuknya benda ke lubang farjinya. Jadi, kebatalan puasa dari mautuk adalah dari sisi sebab masuknya benda ke dalam lubangnya, bukan dari sisi sebab jimak.
  5. Mengeluarkan sperma sebab menyentuh kulit dengan disertai syahwat, seperti; jimak yang tanpa mengeluarkan sperma, bahkan jimak semacam ini malah lebih utama dalam membatalkan puasa karena mengeluarkan sperma adalah tujuan dari jimak. Puasa tidak batal sebab mengeluarkan sperma dalam kondisi tidur, melihat porno, membayangkan mesum, menyentuh tanpa disertai syahwat, atau mendempetkan tubuh perempuan ke tubuhnya dengan disertai adanya penghalang.

Syarat puasa yang menjadi batal sebab perkara-perkara di atas adalah sekiranya orang yang berpuasa ingat kalau dirinya sedang berpuasa, tidak dipaksa, dan tidak bodoh yang diudzurkan. Oleh karena itu, orang yang berpuasa, puasanya menjadi batal sebab melakukan salah satu dari perkara-perkara di atas ketika ia melakukannya secara sengaja, tidak dipaksa, dan tahu akan keharamannya, atau ia adalah bodoh tetapi bodoh yang tidak diudzurkan. Berbeda dengan orang yang berpuasa yang melakukan salah satu dari perkara-perkara di atas disertai lupa, dipaksa, atau bodoh yang diudzurkan, misal; ia baru masuk Islam atau hidup jauh dari para ulama, atau memang harus muntah dan tidak kuat menahannya. Jadi, sengaja muntah merupakan sesuatu yang dapat membatalkan puasa meskipun diketahui bahwa tidak ada sisa muntahan yang kembali masuk ke dalam perutnya, karena sengaja muntah itu merupakan sesuatu yang membatalkan puasa sendiri, bukan karena kembalinya sisa muntahan ke dalam perut.

[Cabang]

Sebaiknya seseorang berhati-hati saat beristinjak karena ketika ia memasukkan ujung jari-jarinya ke dalam duburnya maka puasanya batal meskipun hanya sedikit bagian dari ujung jari telunjuk.

Begitu juga, apabila ia mengizinkan orang lain untuk mencebokkannya dan orang lain tersebut memasukkan sedikit bagian ujung jari-jarinya ke duburnya maka puasanya menjadi batal.

Apabila perempuan memasukkan jari-jarinya ke dalam farjinya pada saat beristinjak maka puasanya menjadi batal karena ia seharusnya hanya berkewajiban membasuh bagian farji yang terlihat saja (bagian dzohir).

Apabila seseorang menusuk dirinya sendiri dengan pisau atau apabila ia mengizinkan orang lain untuk menusuknya dengan pisau, dan pisau tersebut menembus perutnya, atau apabila ia memasukkan kayu ke dalam ihlil atau telinga hingga sampai ke bagian dalam, maka puasanya menjadi batal.

Batalnya puasa sebab memasukkan jar-jari ke dalam dubur ini adalah jika memang keluarnya al-khorij (benda yang keluar) tidak tergantung pada memasukkan jari-jari ke dalam dubur, jika tidak, artinya, al-khorij (semisal; tahi) hanya akan bisa keluar dengan cara dubur dimasuki oleh jari-jari terlebih dahulu, maka puasanya tidak batal.

Ihlil (الإحليل) dengan kasroh pada huruf hamzah berarti lubang keluarnya susu dari payudara dan juga berarti lubang keluarnya air kencing.

Ajhuri berkata berdasarkan pernyataan Khotib, “Sama dengan masuknya jari-jari adalah tahi yang telah keluar dari dubur dan belum terpotong, kemudian lubang dubur menutup, lalu sebagian tahi yang telah keluar itu masuk kembali ke dalam, maka puasanya menjadi batal sekiranya terbukti sebagian tahi itu ada yang masuk kembali setelah keluar. Alasan batalnya puasa tersebut adalah karena sebagian tahi itu keluar dari lambung seseorang, sedangkan ia sendiri tidak perlu untuk menutup lubang duburnya, tetapi ia malah menutupnya, sehingga menyebabkan puasanya batal. Alasan inilah yang membedakan dari pantat orang yang sakit bawasir.” Demikian ini difatwakan oleh Syaikhi Syaikhina Allamah Mansur Toblawi.

Apabila seseorang memiliki luka kepala, lalu ia meletakkan obat di atas lukanya hingga obat tersebut masuk ke kantong otak, maka puasanya menjadi batal meskipun obat tersebut belum sampai ke bagian dalam kantong. Sama juga dengan usus, artinya, apabila seseorang meletakkan obat pada jaa-ifah (luka) di perutnya, kemudian obat tersebut masuk ke dalamnya, maka puasanya batal meskipun obat tersebut tidak sampai ke bagian dalam usus. Syaikhuna Ahmad Nahrowi berkata, “Pengertian jaa-ifah adalah luka yang rasa sakitnya menembus hingga ke bagian dalam.”

Ketahuilah sesungguhnya termasuk ‘ain (benda) adalah asap yang saat ini terkenal dengan nama rokok, semoga Allah melaknati orang yang mentradisikan rokok, karena rokok termasuk salah satu bid’ah buruk. Oleh karena ini, puasa bisa batal sebab menghisap rokok. Pada awalnya, Ziyadi berfatwa bahwa menghisap rokok tidak membatalkan puasa karena asap rokok saat itu belum diketahui hakikatnya, tetapi ketika Ziyadi melihat adanya bekas-bekas yang menempel pada pipa, ia mencabut fatwanya dan memutuskan fatwa baru bahwa menghisap rokok dapat membatalkan puasa.

Apabila pantat orang yang menderita sakit bawasir keluar, kemudian masuk lagi, maka puasanya tidak batal. Begitu juga, tidak batal puasanya jika ia memasukkan kembali pantatnya karena keterpaksaan untuk melakukannya.

Apabila seseorang masuk waktu pagi dan melaksanakan sholat dengan kondisi di dalam mulutnya terdapat benang yang menyambung ke bagian dalam perut maka ada dua hukum yang saling berlawanan, yaitu antara batal puasa dan batal sholat, artinya, apabila ia menelannya secara sengaja atau mengeluarkannya (dan bisa disebut dengan muntah secara sengaja) maka puasanya batal, dan apabila ia membiarkannya maka sholatnya batal karena benang tersebut bersambung dengan najis yang ada di dalam perut.

Dalam menjawab masalah di atas, Zarkasyi mengatakan, “Wajib baginya mencabut benang tersebut atau menelannya karena menjaga keabsahan sholat lebih diutamakan sebab hukum sholat adalah lebih berat daripada hukum puasa karena orang yang meninggalkan sholat (secara sengaja) hukumnya adalah dibunuh, berbeda dengan orang yang meninggalkan puasa maka hukumannya tidak sampai dibunuh. Karena alasan inilah, sholat tidak boleh ditinggalkan sebab udzur, tetapi puasa boleh ditinggalkan sebab udzur. Kewajiban menelan atau mengeluarkan benang tersebut adalah ketika memang tidak mudah baginya untuk memutus benang itu dari batas bagian dzohir mulut. Apabila masih memungkinkan untuk memutusnya dari batas bagian dzohir mulut, maka wajib memutusnya, dan menelan benang yang berada di setelah batas bagian dalam, dan mengeluarkan benang yang berada di setelah batas bagian dzohir. Ketika ia menjaga kemaslahatan sholat maka hendaknya ia menelan benang tersebut dan tidak menariknya keluar agar tidak menyebabkan mulutnya terkena najis. Ziyadi berkata, ‘Yang dimaksud dengan bagian dalam tenggorokan adalah bagian makhroj huruf /ء/ dan /ه/, bukan bagian makhroj huruf /خ/, dan menurut Nawawi, bukan juga bagian makhroj huruf /ح/.’”

Apabila seseorang telah memasukkan kayu ke dalam duburnya atau telinganya, kemudian ia masuk waktu pagi, setelah itu ia menarik keluar kayu itu setelah fajar, maka puasanya tidak batal, karena menarik keluar tersebut menyerupai muntah. Berbeda dengan masalah benang yang telah disebutkan dalam masalah sebelumnya.

Apabila seseorang telah meminum khomr di malam hari, lalu ia masuk waktu pagi dengan kondisi sebagai orang yang berpuasa, maka ia tidak wajib untuk memuntahkan khomr itu. Ini adalah menurut pendapat mu’tamad.

ًTidak termasuk muntah adalah memutus lendir (Jawa; riyak) dari bagian dalam ke bagian luar (dzohir). Oleh karena itu, menurut pendapat ashoh, puasa tidak batal sebab mengeluarkan lendir tersebut secara mutlak, artinya, baik lendir tersebut berasal dari otaknya atau dari perutnya, sebab mengeluarkan lendir itu sering diperlukan sehingga diberi kemurahan.

Adapun apabila lendir itu turun sendiri dari otak, lalu menetap di batas bagian dzohir, atau apabila lendir itu naik sebab batuk, baik lendir itu dikeluarkan dari mulut atau dibiarkan saja, maka tidak membatalkan puasa sama sekali. Apabila seseorang menelan lendir setelah keluar dari batas bagian dzohir atau setelah menetap di batas bagian dzohir maka puasanya dipastikan batal. Dengan demikian, yang dianjurkan dari seseorang yang memiliki lendir riyak ini adalah bahwa ia memutus lendir tersebut dari salurannya dan meludahkannya jika memungkinkan agar tidak ada sebagian lendir yang masuk ke bagian dalam.

Termasuk muntah yang membatalkan puasa adalah mengeluarkan lalat yang telah masuk sampai di makhroj huruf ح. Oleh karena itu, puasanya menjadi batal, baik mengeluarkan lalat tersebut atau menelannya. Diperbolehkan mengeluarkan lalat tersebut dengan syarat harus mengqodho puasa jika dikuatirkan akan terjadi bahaya jika membiarkan lalat tersebut masih ada di tempat makhroj ح.

ًKetahuilah sesungguhnya ketika seseorang onani dengan tangannya sendiri, atau tangan istrinya, atau tangan budak perempuannya maka dapat membatalkan puasa meskipun disertai penghalang. Batalnya puasa sebab onani ini adalah sekiranya ia sengaja onani, tahu keharamannya, dan tidak dipaksa.

Adapun batalnya puasa sebab keluar sperma karena menyentuh kulit adalah ketika yang disentuh dapat membatalkan wudhu meskipun yang disentuh itu adalah farji yang terpotong sekiranya masih disebut dengan nama farji. Adapun ketika yang disentuh tidak membatalkan wudhu, seperti menyentuh kulit mahram, maka puasa tidak batal sebab menyentuh kulitnya meskipun disertai dengan keluar sperma semisal menyentuh kulit mahram karena sayang atau menghormati. Berbeda dengan masalah apabila seseorang menyentuh kulit mahram disertai dengan syahwat, kemudian ia mengeluarkan sperma, maka puasanya batal. Begitu juga, apabila seseorang menyentuh kulit anggota tubuh yang terpotong, kemudian ia mengeluarkan sperma, maka puasanya tidak batal meskipun menyentuhnya itu disertai dengan syahwat, baik dengan penghalang atau tidak. Termasuk kulit yang tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya adalah kulit amrod ganteng sehingga apabila seseorang mengeluarkan sperma sebab menyentuhnya maka puasanya tidak batal meskipun menyentuhnya itu disertai dengan syahwat dan tanpa penghalang karena amrod ganteng bukan sumber penimbul syahwat. Berbeda dengan mahram maka sesungguhnya secara garis besar mahram merupakan salah satu sumber penimbul syahwat.

Ketahuilah sesungguhnya dalam masalah pihak yang menjimak, jika si perempuan menaiki si laki-laki dan si laki-laki tersebut tidak bergerak sama sekali dan tidak mengeluarkan sperma, maka puasa si laki-laki tidak batal. Adapun apabila si laki-laki mengeluarkan sperma maka puasanya batal sebagaimana batalnya puasa sebab menyentuh kulit secara langsung (tanpa penghalang) selain pada farji.

Ketika si laki-laki yang dinaiki itu mengeluarkan sperma maka puasanya sendiri dan si perempuan menjadi batal meskipun tidak sampai memasukkan seluruh khasyafah karena meskipun hanya sebagian khasyafah dapat disebut sebagai masuknya benda ke dalam lubang. Adapun kewajiban membayar kafarat hanya dibebankan pada si perempuan itu, bukan pada si laki-laki yang tidak bergerak itu.

Apabila ada perempuan memasukkan dzakar yang terpotong ke dalam vaginanya atau ada laki-laki memasukkan dzakarnya ke dalam vagina yang terpotong, maka puasa dari masing-masing si perempuan dan si laki-laki menjadi batal. Adapun pemilik dzakar yang terpotong atau vagina yang terpotong maka puasanya tidak batal, berbeda dengan kesalah pahaman sebagian besar pelajar yang mengatakan bahwa pemiliknya itu puasanya batal.

3. Orang yang berpuasa (shoim)

Rukun puasa yang ketiga adalah orang yang berpuasa atau shoim. Suwaifi berkata, “Alasan menghitung shoim sebagai salah satu dari rukun-rukun puasa adalah karena tidak adanya bentuk nyata dari puasa itu sendiri, seperti dalam bab baik (jual beli) yang tidak memiliki bentuk nyata sehingga menghitung penjual dan pembeli sebagai rukun tersendiri. Berbeda dengan sholat,” karena sholat memiliki bentuk secara nyata yang memungkinkan untuk dibayangkan dan dideskripsikan tanpa membayangkan musholli (sehingga musholli tidak dihitung sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun sholat).

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami