Macam Macam Konsekuensi Iftor | Safinatun Naja 77 : 65

Macam macam iftor (tidak berpuasa) adalah judul yang akan saya bahas dari kitab Safinatun Naja disertai dengan Penjelasan (Syarah) dari kitab Kasyifatus Saja Karangan Imam Nawawi Al Bantani. Semoga Allah merahmati mereka berdua dan semoga kita dapat menerima manfaat dari ilmu ilmu mereka. aamiin yaa Allaah yaa Robbal Aalamiin. Kami telah menuliskan matan dari kitab safinatun naja disertai dengan terjemah dalam bahasa Indonesia. dan kami juga telah muliskan penjelasan dari kitab Kasyifatus Saja yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(فَصْلٌ)

واقسام الافطار أربعة أيضا ما يلزم فيه القضاء والفدية وهو اثنان الأول الافطار لخوف على غيره, والثانى الإفطار مع تأخير قضاء مع إمكانه حتى يأتى رمضان أخر, وثانيها ما يلزم فيه القضاء دون الفدية وهو يكثر كمغمى عليه وثالثها ما يلزم فيه الفدية دون القضاء وهو شيخ كبير ورابعها لا و لا وهو المجنون الذى لم يتعد بجنونه

Sumber Matan Safinatun naja

Macam Macam Konsekuensi Iftor

Iftor RAMADHAN TERBAGI 4 (empat) :

1. Wajib meng-qadla' dan membayar fidyah, ada 2 (dua) :

- Ifthar karena mengkhawatirkan orang lain (seperti mengkhawatirkan janin, penj)

- Ifthar beserta mengakhirkan qadla' puasa sampai tiba Ramadlan berikutnya.

2. Wajib meng-qadla' tanpa membayar fidyah yaitu banyak seperti orang pingsan

3. Wajib membayar fidyah tanpa wajib meng-qadla' puasa, yaitu eperti orang yang sangat tua

4. Tidak wajib meng-qadla' dan tidak wajib membayar fidyah yaitu orang yang gila yang tidak disengaja.

Macam-macam iftor dilihat dari segi konsekuensinya dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:

1. Iftor yang mewajibkan mengqodho dan membayar fidyah.

Ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Iftor yang dilakukan oleh seseorang karena ia mengkhawatirkan selain dirinya sendiri

Seperti; orang yang iftor kerena menyelamatkan hewan yang muhtarom atau ghoiru muhtarom sebab hewan tersebut berada dalam kondisi hampir mati karena tenggelam atau selainnya.

Misalnya; Zaid dan Umar bersama-sama naik kapal. Mereka berdua sedang berpuasa Ramadhan. Karena perahu goyang, Umar jatuh ke dalam laut dan ia tidak bisa berenang atau menyelamatkan diri. Akhirnya, Zaid menceburkan diri ke dalam laut untuk menyelamatkan Umar. Tubuh Zaid mengalami lemas karena dahaga atau lapar sebab puasa. Akhirnya, Zaid membatalkan puasanya dengan meminum air laut agar mampu berenang dan menyelamatkan Umar. Jadi, Zaid nanti diwajibkan mengqodho puasa yang ia batalkan dan membayar fidyah dari puasa yang ia batalkan tersebut.

Iftor yang dilakukan oleh perempuan hamil atau perempuan menyusui yang mana iftor tersebut mereka lakukan sebab kuatir atas anak saja sekalipun anak tersebut bukan anak dari perempuan yang menyusui, dan sekalipun anak tersebut bukan manusia, dan sekalipun perempuan menyusui tersebut bersifat sukarela. Bagi mereka berdua, hukum membayar fidyah tidak mengalami kelipatan, artinya, mereka tetap membayar fidyah satu kali saja meskipun mereka hamil atau menyusui berulang kali.

Berbeda apabila perempuan hamil atau perempuan menyusui melakukan iftor karena mengkhawatirkan diri mereka sendiri atau mengkhawatirkan diri mereka sendiri dan diri anak maka mereka hanya berkewajiban mengqodho puasa, dan tidak ada kewajiban membayar fidyah, sebagaimana orang sakit.

2. Iftor yang disertai menunda-nunda mengqodho puasa Ramadhan padahal ada kesempatan untuk menyegerakan mengqodhonya hingga bertabrakan dengan Ramadhan berikutnya.

Ini berdasarkan hadis, “Barang siapa mendapati bulan Ramadhan, kemudian ia melakukan iftor karena sakit, lalu ia sembuh dari sakitnya, dan ia tidak segera mengqodho puasanya hingga ia mendapati Ramadhan berikutnya, maka ia wajib berpuasa di bulan Ramadhan berikutnya itu, kemudian ia wajib mengqodho puasa bulan Ramadhan sebelumnya, kemudian ia wajib memberi makan kepada orang miskin sebagai ganti dari setiap puasa qodhonya itu.” Hadis ini diriwayatkan oleh Daruqutni dan Baihaqi.

Mengecualikan dengan pernyataan padahal ada kesempatan untuk menyegerakan mengqodhonya adalah masalah apabila seseorang melakukan iftor di bulan Ramadhan A sebab bepergian atau sakit dan ia tetap dalam kondisi bepergian atau sakit hingga mendapati bulan Ramadhan B, atau apabila seseorang menunda-nunda mengqodho puasa di bulan Ramadhan A hingga ia mendapati bulan Ramadhan B, tetapi penundaannya tersebut terjadi karena lupa atau tidak mengetahui tentang keharaman menunda-nunda dalam mengqodho sekalipun ia dekat dengan para ulama karena samarnya masalah keharaman menunda-nunda tersebut, maka mereka berdua hanya berkewajiban mengqodho puasa dan tidak berkewajiban membayar fidyah.

Berbeda dengan masalah apabila seseorang menunda-nunda mengqodho puasa di bulan Ramadhan A hingga ia mendapati bulan Ramadhan B, dan penundaannya tersebut dikarenakan tidak mengetahui kewajiban membayar fidyah, maka ia tetap berkewajiban mengqodho puasa dan membayar fidyahnya, karena ketidak tahuan (bodoh)-nya tentang kewajiban membayar fidyah tidak termasuk bodoh yang diudzurkan, sebagaimana seseorang ketika sholat berdehem-dehem, ia mengetahui tentang keharaman berdehem-dehem, tetapi ia tidak mengetahui kalau berdehem-dehem tersebut dapat membatalkan sholat, maka sholatnya tetap dihukumi batal sebab ketidaktahuannya tentang berdehem-dehem dapat membatalkan sholat tidak termasuk bodoh yang diudzurkan.

Ketahuilah sesungguhnya membayar fidyah dapat mengalami kelipatan sesuai dengan bulan Ramadhan lain yang didapati.

Misalnya; Zaid mengalami sakit satu hari yang memperbolehkannya iftor di bulan Ramadhan A. Setelah ia sembuh, ia berkewajiban mengqodho puasanya tersebut. Akan tetapi, Zaid tidak segera mengqodhonya, melainkan ia menunda-nundanya hingga akhirnya ia mendapati bulan Ramadhan B. Dari sini, ia berkewajiban mengqodho puasa satu hari itu dan membayar fidyah darinya. Setelah Ramadhan B, ia masih saja tidak segera mengqodho hingga akhirnya ia mendapati bulan Ramadhan C. Dari sini, ia berkewajiban mengqodho puasa satu hari itu dan membayar fidyah 2 kali lipat atas hutang puasa satu harinya itu. Dan seterusnya. Wallahu a’lam

Membayar fidyah tersebut akan tetap menjadi tanggungan atas orang yang berkewajiban menunaikannya.

Syaikhul Islam berkata dalam Syarah Minhaj, “Apabila seseorang mengakhirkan atau menunda-nunda mengqodho puasa padahal ada kesempatan untuk mengqodhonya hingga ia mendapati bulan Ramadhan berikutnya, kemudian ia mati, maka untuk setiap satu hari puasa yang ditinggalkan dikeluarkan 2 mud dari harta tinggalannya, yaitu 1 mud karena ia tidak berpuasa di satu hari tersebut dan 1 mud karena ia menunda-nunda mengqodhonya. 2 mud ini dikeluarkan jika memang mayit belum sempat mengqodho puasanya sebelum ia mati. Jika ia telah mengqodhonya, maka hanya dikeluarkan 1 mud saja sebab menunda-nunda.”

2. Iftor yang mewajibkan mengqodho puasa yang ditinggalkan dan tidak ada kewajiban membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkan tersebut.

Ketetapan ini berdasarkan alasan karena tidak ada nash atau dalil yang menjelaskan tentang kewajiban membayar fidyah atas orang-orang yang masuk dalam kategori macam iftor ini.

Orang-orang yang masuk dalam kategori iftor ini sangat banyak, artinya, mereka hanya berkewajiban mengqodho puasa saja tanpa membayar fidyah. Di antara mereka adalah orang ayan, orang yang lupa berniat puasa, dan orang yang sengaja membatalkan puasa dengan selain jimak.

3. Iftor yang mewajibkan membayar fidyah dan tidak ada kewajiban mengqodho puasa.

Konsekuensi iftor ini berlaku bagi orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa sepanjang sisa hidupnya. Apabila ia masih mampu berpuasa di sebagian sisa hidupnya maka ia berkewajiban menunda mengqodho puasa sampai waktu yang ia mampu itu. Sama seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa adalah orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh, artinya, ia wajib membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban mengqodho.

4. Iftor yang tidak mewajibkan mengqodho puasa dan tidak mewajibkan membayar fidyah atasnya.

Konsekuensi iftor ini berlaku bagi orang yang puasanya batal sebab gila yang tidak disebabkan oleh kecerobohannya karena ketika ia mengalami gila, ia tidak ditaklif (dituntut hukum). Sama dengan orang gila ini adalah shobi (anak kecil) dan orang kafir asli, artinya, ketika shobi telah baligh, ia tidak berkewajiban mengqodho dan membayar fidyah atas puasa-puasa yang ia tinggalkan sebelum baligh, dan ketika kafir asli telah masuk Islam, ia tidak berkewajiban mengqodho dan membayar fidyah atas puasa-puasa yang ia tinggalkan saat ia masih dalam kondisi kufur.

Ketahuilah sesungguhnya kewajiban mengqodho yang menjadi konsekuensi iftor di atas bersifat tarokhi, artinya, tidak harus segera diqodho, kecuali bagi orang yang berdosa sebab membatalkan puasa, orang murtad, orang yang meninggalkan berniat di malam hari secara sengaja seperti yang ditetapkan oleh pendapat muktamad, maka mereka bertiga ini wajib mengqodho puasa dengan segera. Demikian ini difaedahkan oleh Qulyubi.

Begitu juga, apabila seseorang memiliki hutang puasa di bulan Ramadhan A, kemudian waktu sudah mepet, artinya, tersisa waktu yang hanya cukup untuk mengqodho puasanya tersebut sebelum datangnya bulan Ramadhan B, maka saat demikian ini ia berkewajiban mengqodho puasanya secara segera.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Ikuti Kami